Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh.
Sebelum melakukan percobaan, Morgan melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa.
Hasilnya ternyata sungguh di luar dugaan. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stress dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitas mereka. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18%. Lebih buruk lagi, untuk menghilangkan penambahan bobot sebesar 20 pon tersebut diperlukan waktu selama 5 bulan, dan 9 bulan lagi untuk menghilangkan sisanya. Pendek kata, kesalahan yang dilakukan hanya selama 1 bulan (baca: buying nothing but junk food) harus ditebus dengan pengorbanan selama beberapa bulan lamanya.
Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock. Selain mengisahkan tentang percobaan nekat yang dilakukan Morgan, ada beberapa hal menarik yang diungkap juga dalam film tersebut. Beberapa di antaranya:
- Amerika nggak cuma mempunyai gedung-gedung tinggi, mobil yang pajang, tetapi juga orang-orang “besar.” Sekitar 60% penduduk Amerika diyakini mengalami obesitas, dengan konsentrasi Detroit dan Houston (Texas).
- Gaya hidup dan makanan yang keliru tidak hanya dibayar dengan duit, tetapi juga harus ditebus dengan kondisi tubuh, kesehatan, dan risiko kematian.
- Dalam suatu percobaan, ditunjukkan beberapa gambar tokoh (termasuk George Washington dan Jesus Christ) kepada beberapa anak. Tidak banyak anak yang bisa menebak. Mereka semua baru bisa menebak dengan tepat ketika disodori gambar badut Ronald McDonald.
- Industri junk food telah berkembang dengan sangat pesat. Sebuah perusahaan fast food ternama, dalam 1 hari bisa melayani 46 juta orang; melebihi jumlah penduduk Spanyol.
- Lebih parah lagi, junk food juga digalakkan melalui school lunch program.
Perlunya Berbisnis dengan Etika
Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”,Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Kita Sebagai Pebisnis
Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.
Kita Sebagai Konsumen
Ini yang lebih penting. Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen. Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas.
Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan.
Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri. Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all.
Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar